BISMILLAHIR ROHMANIR ROHIM

Kamis, 27 Mei 2010

Klasifikasi Madzhab Filsafat

”KLASIFIKASI MADZAB FILSAFAT ISLAM DAN KARAKTERISTIKNYA”
Aliran Paripatetik
1. Karakteristik Paripatetik
Filsafat peripatetik dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang masuk dalam kategori filsuf paripatetik diantaranya adalah Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M), Ibnu Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M). Abad ke-11 menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasa Arab dikenal dengan nama al-Masyai’yyah berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan dalam mengajar.
Karakter dari aliran paripatetik adalah:
Pertama, adalah dalam hal metodologis atau pemikiran aliran paripatetik lebih menitik beratkan pada pemikiran rasional (akal) sebagai metode pencari kebenaran tanpa memberikan ruang yang penting bagi metode intuitif.
Kedua, adalah dalam aspek ontologis atau ketuhanan, Peripatetik adalah sebagai filsafat yang mendasarkan prinsipnya pada bentuk silogisme-Aristotelian yang sangat rasional. Adapun tokohnya yang terkenal adalah Ibn Sina. pendekatan kaum Peripatetik adalah lebih mendahulukan rasio dan memarjinalkan intuisi dan imajinasi yang tersimpan dalam jiwa manusia. Dalam tataran konsep Peripatetik tentang Tuhan adalah pembuktian wajibul wujud (Tuhan, mesti-ada dengan sendirinya) dan mumkinul wujud (makhluk, mesti-ada dengan selainnya). Seperi yang dinyatakan oleh Al Farabi dan Ibnu Sina yang mengemukakan tuhan sebagai wajib al wujud yang harus ada dan yang lainya adalah mumkin al wujud yaitu wujudnya itu tergantung oleh wajib al wujud
Dan ciri yang ketiga dalam aspek kosmologi berupa teori emanasi yang mengemukakan alam semesta memancar dari tuhan yang tersusun secara herarki mulai dari akal pertama yang berasal dari pancaran cahaya tuhan yang pertama yang darinya memancar akal yang kedua dan seterusnya sama halnya yang disampaikan oleh Ibn Sina dan Al Farabi bahwa dari akal pertama memancar akal akal kedua dan langit pertama dan seterusnya hingga akal ke sepuluh dan dari akal ke sepuluh memancarlah segala yang ada di bumi dibawah bulan.

2. Epistemology Aliran Paripatetik
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetik yang diilhami oleh Aristoteles mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya segala persoalan. Kelompok ini terkenal dengan tokohnya yang bernama Syekh Ar Ra’is Ibnu Sina.
Plato terkadang juga dikaitkan dengan kelompok iluminasionis, namun demikian bagaimana kebenarannya masih perlu dikaji lebih dalam lagi berhubung penulis sejarah filsafat yang terkenal seperti Syahristani sekalipun tidak pernah menyebut Plato sebagai penganut paham ini. Kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Syuhrawardi dalam bukunya ‘Hikmah al Isyraq’ bahwa Phytagoras dan Plato adalah termasuk dari beberapa cendikiawan kuno yang menganut aliran iluminatif.
Terlepas dari apakah Plato termasuk orang yang menganut paham iluminasionis ataupun bukan, namun kita perlu mengingat kembali landasan filsafat plato yang terkenal tentang hakikat (filsafat tinggi). Plato meletakkan pandangannya kepada tiga pilar utama yaitu :
1. Teori Ide
Menurut teori ini apa-apa yang disaksikan manusia didunia ini, baik substansi ataupun aksiden, pada hakikatnya semua itu sudah ada didunia lain. Yang kita saksikan didunia ini semunya hanya semacam cermin atau bayangan dari dunia lain.
2. Teori tentang Roh Manusia.
Plato meyakini bahwa sebelum jasad manusia tercipta (manusia terlahir) , maka rohnya telah berada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna, yaitu dunia ide. Setelah jasad tercipta maka roh menempatinya dan sekaligus terikat dengannya.
3. Plato menyimpulkan bahwa ilmu itu adalah mengingat kembali (remind) dan bukan mempelajari, yakni apa saja yang kita pelajari didunia ini pada hakikatnya adalah pengingatan kembali terhadap apa-apa yang sudah pernah kita ketahui sebelumnya. Logikanya adalah karena sebelum roh bergabung dengan jasad, roh tersebut sudah ada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna dan telah menyaksikan dunia tersebut, dan dikarenakan hakikat dari segala sesuatu itu adalah di ‘ide’ nya maka seyogyanya ide ini telah mengetahui berbagai hakikat. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada setelah roh terikat dengan jasad tidak lain adalah sesuatu yang tadinya kita sudah tahu dan sekarang sudah terlupakan.
Plato menjelaskan kemudian bahwa karena roh sudah terikat didalam jasad, maka roh tidak bisa lagi mendapatkan cahaya sebagaimana yang tadinya dia dapatkan. Hal ini persis seperti tirai yang menghalangi cermin sehingga cermin tidak bisa menerima pancaran cahaya karena terhalang oleh tirai tersebut.
Dan ini hanya bisa disingkap dengan proses dialektika, atau metode iluminasi (penyucian jiwa , penahanan hawa nafsu dll) sehingga pancaran cahaya dapat masuk lagi kedalam cermin dan dan sekaligus bisa lagi merefleksikan gambaran dari dunia lain tadi.
Pandangan ini di tolak keras oleh Aristoteles, menurut Aristoteles perkara ‘ide’ itu adalah urusan mental (zhihn) , jadi tidak ada itu yang namanya universalia ‘ide’ .
Kedua, masalah roh ,Aristoteles percaya bahwa roh itu diciptakan seiring atau hampir bersamaan dengan penciptaan jasad. Dan jasad bukan merupakan tirai penghalang sama sekali bagi roh, bahkan dengan ‘bantuan’ jasadlah roh baru bisa mendapatkan semua informasi dan ilmu baru. Pengetahuan dan informasi yang didapatkan roh adalah melalui perantara jasad berupa panca indra dan instrumen jasad lainnya. Dan lanjut Aristoteles lagi, bahwa roh itu tidak pernah berada didunia lain sehingga roh itu sudah built up dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Aliran Iluminasionist
1. Karakteristik Madzhab Iluminasi
Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, filsafat Iluminasi tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut metodologis, ontologis dan kosmologis
Pertama, dalam segi metodologis aliran iluminasi memberikan ruang yang sangat penting bagi metode pencarian intuitif sebagai pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba mensintesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘irfanî dalam sistem pemikiran yang solid dan holistik.
Kedua, dari segi ontologisnya, aliran iluminasionis, yang diwakili oleh konsep metafisika cahaya, yang merupakan ciri khas lainnya dari aliran ini. Di atas pernah disinggung bahwa sebagian filosof pernah mengibaratkan Tuhan sebagai matahari dan alam sinarnya. Suhrawardi, adalah seorang filosof Muslim yang menurut saya, paling maksimal memanfaatkan simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya. Baginya Tuhan adalah Cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas Cahaya (Nûr Al-Anwar). Ia adalah sumber dari segala cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar.
Ketiga dari aliran iluminasionis bisa dilihat dari ajaran kosmologis mereka, berupa Teori Emanasi, namun lebih ekstensif dari teori emanasi kaum Peripatetik. Seperti halnya kaum Peripatetik, Suhrawardi juga percaya bahwa alam semesta memancar dari Tuhan. Hanya saja dalam teori emanasi Suhrawardi, kita menjumpai bukan hanya istilah-istilah yang berbeda, tetapi juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Tidak seperti Ibn Sina, yang menyebut Tuhan dengan Wâjib al-Wujûd ,Suhrawardi menyebut-Nya Nûr al-Anwâr (Cahaya dari segala cahaya), kalau dilihat dari sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya yan lainnya, dan al-Ghani (Yang Independen) dilihat dari kemandiriaan-Nya yang absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakîr (berbanding dengan mumkîn al-wujûd-nya Ibn Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan.
2. Epistemologi Filsafat Iluminasi
Untuk memperoleh pengalaman visioner tersebut seorang yang hendak menjadi filosof harus melewati beberapa tahapan yang telah ditentukan. Dan dalam bukunya Al-Masyari wa Al-Mutharahat Suhrawardî menetapkan tiga tahapan yang menggarap persoalan pengetahuan, dan diikuti oleh tahapan keempat yang memaparkan pendokumentasian pengalaman-pengalaman suprarasional.
Pada tahapan awal, langkah yang harus ditempuh adalah meninggalkan kehidupan dunia, melakukan uzlah selama empat puluh hari, puasa, “ngerowot” (tidak makan yang bernyawa) dan aktivitas lainnya yang tergolong praktik asketik dan mistik. Dengan tujuan sebagai persiapan diri subjek untuk menerima ilham dan wahyu, penyaksian (musyahadah) dan penyingkapan (mukasyafah) realitas Cahaya Murni serata mengenal kebenaran intuisinya sendiri.
Tahapan kedua disebut tahapan pencerahan, yang mengisyaratkan merasuknya Cahaya Ilahi ke dalam wujud manusia (subjek). Dalam proses ini Cahaya Ilahi mengambil peran penting sebagai fondasi dasar pembangun ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantara kehadiran.
Tahapan ketiga adalah tahapan konstruksi (pembangunan) suatu ilmu yang benar dan pencapaian pengetahuan yang tak terbatas. Dalam tahapan ini subjek telah dikatakan sebagai filosof Ilumisasi yang mencapai tingkatan “melihat” Cahaya Ilahi, dan mengajarkannya secara langsung tanpa perantara ilham dan wahyu. Dan tahapan ini disempurnakan dengan pendemostrasian Aristotelian dengan menggerakan data-data indrawi (yang di lihat) kepada akal sebagai pusat pengetahuan ilmiah diskursif.
Sedangkan tahapan terakhir adalah pendokumentasian pengalaman-pengalaman visioner ke dalam tulisan, adanya tahapan ini sebagai antisipasi ketika rasa ekstase itu hilang dan menjauh dari subjek. Menurut mereka yang telah merasakan, kejadian “ekstase” yang dirasakan para sufi hanyalah sebentar dan tidak dalam masa yang lama..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar