BISMILLAHIR ROHMANIR ROHIM

Jumat, 28 Mei 2010

Menghargai Perbedaan

MENGHARGAI PERBEDAAN

Mungkinkah Kita Bisa Berbeda?
Catatan Dari Perjumpaan Dengan Mereka Yang Tertindas
Paring Waluyo Utomo*

“Wong bedo kok dimusuhi”. Kalimat ini meluncur begitu saja dari bibir Embah Samadikun, seorang pembarong reyog Ponorogo kawakan. Hal itu diucapkannya saat ia membuat tafsir tentang Reyog yang berbeda dengan pandangan maenstream, khususnya yang diresmikan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Akibat komitmennya memegang teguh cara pandangnya itu, Embah Samadikun disingkirkan oleh birokrasi dari Yayasan Reyog. Ia juga diolok-olok para seniman reyog “plat merah”. Kowe kuwi ngerti opo? Begitulah kata-kata yang dilontarkan oleh para seniman itu merespon tafsir reyog versi Embah Samadikun saat mereka membuat sarasehan tentang reyog untuk menemukan kesepakatan mengenai kontruksi pertunjukkan reyog. Karena beliau bukan orang sekolahan, maka pendapatnya segera tersingkir seiring dengan dimasukkannya orang-orang kampusan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ponorogo, untuk membuat standarisasi pertunjukkan reyog sebagaiaman yang termaktub dalam buku kuning.
Upaya pembunuhan ide-ide reyog versi Embah Samadikun ternyata tidak berhenti di situ. Beliau bahkan kian dijauhkan dari dunia reyog yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo, lewat Festival Reyog Nasional menjelang Peringatan Hari Proklamasi (17 Agustusan). Namun beliau tak patah arang. Beliau justru mengembangkan reyog dalam ruang spiritualitas kesehariannya sendiri.
Cerita mengenai penyingkiran Embah Samadikun masih hangat dalam memori penulis, ketika beberapa bulan kemudian penulis berkunjung ke wilayah Tulung Agung Selatan, tepatnya di Desa Pojok. Di situ penulis bertemu dengan seorang tokoh gaek aliran Kebatinan Lelakon bernama Embah Paijo. Ia juga memiliki nasib serupa dengan Embah Samadikun. Namun nasib Embah Paijo lebih pahit lagi. Oleh beberapa kelompok masyarakat, ia diberi label kafir bahkan komunis, hanya karena ia menjalani ritual keyakinannya Kebatinan Lelakon itu. Oleh kalangan Islam, Embah Paijo dianggap menyalahi Islam sebab ia menyandingkan sholat dengan hening sebagai tata cara menemukan Tuhan.
Padahal berulangkali Embah Paijo menegaskan bahwa tradisi kebatinan lelakon bukanlah kontruksi agama tersendiri. “Kebatinan lelakon iku ora arep gawe toto coro dewe kok Mas. Aku yok melok umume adat tonggo teparo (Kebatinan Lelakon itu tidak bermaksud membuat aturan sendiri, Mas. Saya juga ikut aturan umum para tetangga)”, begitulah penggal kalimat percakapan penulis dengan Embah paijo. Dan memang, dalam kesehariannya tampak betapa gairahnya Embah Paijo bersama warga Desa Pojok lainnya untuk memprakarsai berdirinya masjid. Ketulusan Embah Paijo menyumbangkan tenaganya untuk pendirian masjid, bukanlah alasan basa-basi solidaritas sesama warga semata, tetapi juga penghargaannya yang begitu tinggi terhadap Islam. Tapi di lain pihak ia juga tak bisa menanggalkan tradisi kejawennya.
Nasib serupa juga dialami oleh kalangan seniman yang umumnya tergabung dalam Lekra. Salah satunya adalah Haji Andang. Saat ia membuat tembang Perawan Sunthi yang mengisahkan perawan di Banyuwangi yang keluar rumah dan berkerja sambil menyapa para gembala. Sang perawan sangat berharap mendapatkan suami yang baik. Haji Andang menggambarkannya sang perawan wanci kinangan suruh kuning. Namun oleh penguasa, kalimat suruh kuning ini dimaknai sebagai ajakan revolusi, sebab suruh kuning akan menghasilkan warna merah bila dikunyah. Seolah belum cukup, penghancuran terhadap syair-syair lagu Andang terus bergulir. Saat ia mencipta lagu Tembang Petetan di halaman rumah, lagi-lagi penguasa menuduh sang seniman hendak mengajak massa memasang bendera RRC yang komunis, yakni berwarna merah. Akibatnya, ia harus mendekam 2 tahun 15 hari tanpa proses hukum apapun di Penjara Lowokwaru Malang.
Deret cerita diatas dimaksudkan untuk menggambarkan, betaa perbedaan itu tak selamanya indah. Terlebih selera perbedaan itu dihadapkan pada kuasa-kuasa politik atau kelompok-kelompok berkuasa. Perbedaan kerapkali dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengganggu kelangsungan status quo. Perbedaan sering dimaknai sebagai sesuatu yang subversib, yang harus disingkirkan.
Celakanya selera benar-salah cenderung dilihat dari pertimbangan mainstream, pertimbangan kelompok dominan. Amat jarang kita jumpai kelompok-kelompok marjinal, minoritas, mendapatkan tempat yang sejajar dalam mengakses ruang publik. Yang sering terjadi, mereka yang marjinal selalu salah dan kalah.
Pengalaman sejarah Orde Baru menunjukkan sesuatu yang mengerikan, bahwa pluralitas hanya dihargai sebatas dalam tingkat kewajaran menurut takaran pengguasa. Selebihnya yang perlu dilakukan adalah penyeragaman dalam bidang apapun, baik melalui hegemoni pikiran maupun kekerasan fisik, termasuk dalam menyelesaikan problem-problem kebudayaan.
Kini saatnya bagi kita semua untuk memotong rantai kesinisan dalam memaknai perbedaan. Tentu tidaklah cukup menaburkan rasa pluralisme itu dalam ruang seminar dan workshop semata. Harus ada tindakan-tindakan pendampingan kebudayaan yang lebih segar, kreatif, dan dialogis yang berlandaskan nalar dan kesetaraan ruang.
Demokrasi dan pluralisme membutuhkan semangat dan tindakan untuk mau berbagi, sebab demokrasi berarti memberi penghormatan yang seadil-adilnya terhadap keyakinan kepada yang lain, termasuk kepada kaum minoritas. Mungkinkah mereka yang berkuasa, mereka yang dominan itu mau berbagi dengan yang kecil sekaligus memahami ratapan derita yang kecil itu?
Situasi dunia global kini sebenarnya sangat kondusif untuk menciptakan rasa keadilan dan kebebasan setiap warga. Di dalam Declaration Universal of Human Right dalam Pasal 18 ditegaskan bahwa setiap orang memiliki kebebasan pikiran, hati-nurani dan agama, yang mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik sendiri maupun kelompok bersama dengan orang lain dan baik di tempat sendiri maupun di tempat umum, untuk menyatakan agama dan kepercayaannya itu dalam pengajaran, tindakan, peribadatan, dan pelaksanaan.
Hal ini juga masih diperkuat lagi dengan The Internatinal Convenant on Civil and Political Rights, khususnya dalam pasal 18 ayat 2 yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh mendapatkan paksaan yang bisa mengurangi kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan menurut pilihannya.
Secara konstitusional bangsa Indonesia juga memiliki hukum dasar (UUD 1945) yang juga menegaskan komitmennya untuk memberikan perlindungan dan jaminan bagi kebebasan beragama dan menganut kepercayaan, serta kebebasan untuk hidup berserikat serta mengemukakan pendapat (Pasal 28 dan 29). Amat jelas, bahwa founding father bangsa ini memiliki komitmen yang begitu kuat untuk menghormati dan melindungi para pemeluk agama dan kepercayaan, serta pendapat.
Mestinya ini semua menjadi bahan pertimbangan kita untuk tidak gegabah dalam menghakimi sesuatu perkara yang terdapat dalam pergulatan kebudayaan kita sehari-hari. Biarkanlah warna-warni kebudayaan yang ada di Indonesia berkembang. Sebab hanya dengan itulah para leluhur kita dapat melangsungkan dan membentuk peradaban yang humanis hingga kini.

Paring Waluyo Utomo, Direktur Pusat Studi Dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes, Malang

HARGAILAH PERBEDAAN

dalam keheningan malam, sekitar jam 12 an lebih q masih terjaga, dalam pengembaraan q melihat data-data yang ada dalam komputer. tak sengaja q mendapatkan sebuah artikel karangan seseorang yang gak q kenal. sekilas q baca judulnya kayaknya bahasannya menarik. "menghargai perbedaan".....
ya itulah......perbedaan...dalam kehidupan selalu dan pasti ditemukan perbedaan dan perbedaan bahkan tak jarang timbul perselisihin dikarenakan "PERBEDAAN"
bisakah kita dengan segala perbedaan kita, bersatu??????? tanpa mementingkan ego kita masing-masing????
pernah kita dengar perbedaan itu adalah rahmat...
ini saatnya bagi kita semua untuk memotong rantai kesinisan dalam memaknai perbedaan. Tentu tidaklah cukup menaburkan rasa pluralisme itu dalam ruang seminar dan workshop semata. Harus ada tindakan-tindakan pendampingan kebudayaan yang lebih segar, kreatif, dan dialogis yang berlandaskan nalar dan kesetaraan ruang.
Demokrasi dan pluralisme membutuhkan semangat dan tindakan untuk mau berbagi, sebab demokrasi berarti memberi penghormatan yang seadil-adilnya terhadap keyakinan kepada yang lain, termasuk kepada kaum minoritas. Mungkinkah mereka yang berkuasa, mereka yang dominan itu mau berbagi dengan yang kecil sekaligus memahami ratapan derita yang kecil itu?
bisakah......
mampukah....
maukah......
renungkanlah dengan hati nurani.
inilah artikel "MENGHARGAI PERBEDAAN" yang q temukan saat itu..

semoga kita bisa menyatu dalam perbedaan..

Kamis, 27 Mei 2010

Klasifikasi Madzhab Filsafat

”KLASIFIKASI MADZAB FILSAFAT ISLAM DAN KARAKTERISTIKNYA”
Aliran Paripatetik
1. Karakteristik Paripatetik
Filsafat peripatetik dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang masuk dalam kategori filsuf paripatetik diantaranya adalah Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M), Ibnu Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M). Abad ke-11 menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasa Arab dikenal dengan nama al-Masyai’yyah berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan dalam mengajar.
Karakter dari aliran paripatetik adalah:
Pertama, adalah dalam hal metodologis atau pemikiran aliran paripatetik lebih menitik beratkan pada pemikiran rasional (akal) sebagai metode pencari kebenaran tanpa memberikan ruang yang penting bagi metode intuitif.
Kedua, adalah dalam aspek ontologis atau ketuhanan, Peripatetik adalah sebagai filsafat yang mendasarkan prinsipnya pada bentuk silogisme-Aristotelian yang sangat rasional. Adapun tokohnya yang terkenal adalah Ibn Sina. pendekatan kaum Peripatetik adalah lebih mendahulukan rasio dan memarjinalkan intuisi dan imajinasi yang tersimpan dalam jiwa manusia. Dalam tataran konsep Peripatetik tentang Tuhan adalah pembuktian wajibul wujud (Tuhan, mesti-ada dengan sendirinya) dan mumkinul wujud (makhluk, mesti-ada dengan selainnya). Seperi yang dinyatakan oleh Al Farabi dan Ibnu Sina yang mengemukakan tuhan sebagai wajib al wujud yang harus ada dan yang lainya adalah mumkin al wujud yaitu wujudnya itu tergantung oleh wajib al wujud
Dan ciri yang ketiga dalam aspek kosmologi berupa teori emanasi yang mengemukakan alam semesta memancar dari tuhan yang tersusun secara herarki mulai dari akal pertama yang berasal dari pancaran cahaya tuhan yang pertama yang darinya memancar akal yang kedua dan seterusnya sama halnya yang disampaikan oleh Ibn Sina dan Al Farabi bahwa dari akal pertama memancar akal akal kedua dan langit pertama dan seterusnya hingga akal ke sepuluh dan dari akal ke sepuluh memancarlah segala yang ada di bumi dibawah bulan.

2. Epistemology Aliran Paripatetik
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetik yang diilhami oleh Aristoteles mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya segala persoalan. Kelompok ini terkenal dengan tokohnya yang bernama Syekh Ar Ra’is Ibnu Sina.
Plato terkadang juga dikaitkan dengan kelompok iluminasionis, namun demikian bagaimana kebenarannya masih perlu dikaji lebih dalam lagi berhubung penulis sejarah filsafat yang terkenal seperti Syahristani sekalipun tidak pernah menyebut Plato sebagai penganut paham ini. Kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Syuhrawardi dalam bukunya ‘Hikmah al Isyraq’ bahwa Phytagoras dan Plato adalah termasuk dari beberapa cendikiawan kuno yang menganut aliran iluminatif.
Terlepas dari apakah Plato termasuk orang yang menganut paham iluminasionis ataupun bukan, namun kita perlu mengingat kembali landasan filsafat plato yang terkenal tentang hakikat (filsafat tinggi). Plato meletakkan pandangannya kepada tiga pilar utama yaitu :
1. Teori Ide
Menurut teori ini apa-apa yang disaksikan manusia didunia ini, baik substansi ataupun aksiden, pada hakikatnya semua itu sudah ada didunia lain. Yang kita saksikan didunia ini semunya hanya semacam cermin atau bayangan dari dunia lain.
2. Teori tentang Roh Manusia.
Plato meyakini bahwa sebelum jasad manusia tercipta (manusia terlahir) , maka rohnya telah berada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna, yaitu dunia ide. Setelah jasad tercipta maka roh menempatinya dan sekaligus terikat dengannya.
3. Plato menyimpulkan bahwa ilmu itu adalah mengingat kembali (remind) dan bukan mempelajari, yakni apa saja yang kita pelajari didunia ini pada hakikatnya adalah pengingatan kembali terhadap apa-apa yang sudah pernah kita ketahui sebelumnya. Logikanya adalah karena sebelum roh bergabung dengan jasad, roh tersebut sudah ada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna dan telah menyaksikan dunia tersebut, dan dikarenakan hakikat dari segala sesuatu itu adalah di ‘ide’ nya maka seyogyanya ide ini telah mengetahui berbagai hakikat. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada setelah roh terikat dengan jasad tidak lain adalah sesuatu yang tadinya kita sudah tahu dan sekarang sudah terlupakan.
Plato menjelaskan kemudian bahwa karena roh sudah terikat didalam jasad, maka roh tidak bisa lagi mendapatkan cahaya sebagaimana yang tadinya dia dapatkan. Hal ini persis seperti tirai yang menghalangi cermin sehingga cermin tidak bisa menerima pancaran cahaya karena terhalang oleh tirai tersebut.
Dan ini hanya bisa disingkap dengan proses dialektika, atau metode iluminasi (penyucian jiwa , penahanan hawa nafsu dll) sehingga pancaran cahaya dapat masuk lagi kedalam cermin dan dan sekaligus bisa lagi merefleksikan gambaran dari dunia lain tadi.
Pandangan ini di tolak keras oleh Aristoteles, menurut Aristoteles perkara ‘ide’ itu adalah urusan mental (zhihn) , jadi tidak ada itu yang namanya universalia ‘ide’ .
Kedua, masalah roh ,Aristoteles percaya bahwa roh itu diciptakan seiring atau hampir bersamaan dengan penciptaan jasad. Dan jasad bukan merupakan tirai penghalang sama sekali bagi roh, bahkan dengan ‘bantuan’ jasadlah roh baru bisa mendapatkan semua informasi dan ilmu baru. Pengetahuan dan informasi yang didapatkan roh adalah melalui perantara jasad berupa panca indra dan instrumen jasad lainnya. Dan lanjut Aristoteles lagi, bahwa roh itu tidak pernah berada didunia lain sehingga roh itu sudah built up dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Aliran Iluminasionist
1. Karakteristik Madzhab Iluminasi
Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, filsafat Iluminasi tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut metodologis, ontologis dan kosmologis
Pertama, dalam segi metodologis aliran iluminasi memberikan ruang yang sangat penting bagi metode pencarian intuitif sebagai pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba mensintesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘irfanî dalam sistem pemikiran yang solid dan holistik.
Kedua, dari segi ontologisnya, aliran iluminasionis, yang diwakili oleh konsep metafisika cahaya, yang merupakan ciri khas lainnya dari aliran ini. Di atas pernah disinggung bahwa sebagian filosof pernah mengibaratkan Tuhan sebagai matahari dan alam sinarnya. Suhrawardi, adalah seorang filosof Muslim yang menurut saya, paling maksimal memanfaatkan simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya. Baginya Tuhan adalah Cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas Cahaya (Nûr Al-Anwar). Ia adalah sumber dari segala cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar.
Ketiga dari aliran iluminasionis bisa dilihat dari ajaran kosmologis mereka, berupa Teori Emanasi, namun lebih ekstensif dari teori emanasi kaum Peripatetik. Seperti halnya kaum Peripatetik, Suhrawardi juga percaya bahwa alam semesta memancar dari Tuhan. Hanya saja dalam teori emanasi Suhrawardi, kita menjumpai bukan hanya istilah-istilah yang berbeda, tetapi juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Tidak seperti Ibn Sina, yang menyebut Tuhan dengan Wâjib al-Wujûd ,Suhrawardi menyebut-Nya Nûr al-Anwâr (Cahaya dari segala cahaya), kalau dilihat dari sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya yan lainnya, dan al-Ghani (Yang Independen) dilihat dari kemandiriaan-Nya yang absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakîr (berbanding dengan mumkîn al-wujûd-nya Ibn Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan.
2. Epistemologi Filsafat Iluminasi
Untuk memperoleh pengalaman visioner tersebut seorang yang hendak menjadi filosof harus melewati beberapa tahapan yang telah ditentukan. Dan dalam bukunya Al-Masyari wa Al-Mutharahat Suhrawardî menetapkan tiga tahapan yang menggarap persoalan pengetahuan, dan diikuti oleh tahapan keempat yang memaparkan pendokumentasian pengalaman-pengalaman suprarasional.
Pada tahapan awal, langkah yang harus ditempuh adalah meninggalkan kehidupan dunia, melakukan uzlah selama empat puluh hari, puasa, “ngerowot” (tidak makan yang bernyawa) dan aktivitas lainnya yang tergolong praktik asketik dan mistik. Dengan tujuan sebagai persiapan diri subjek untuk menerima ilham dan wahyu, penyaksian (musyahadah) dan penyingkapan (mukasyafah) realitas Cahaya Murni serata mengenal kebenaran intuisinya sendiri.
Tahapan kedua disebut tahapan pencerahan, yang mengisyaratkan merasuknya Cahaya Ilahi ke dalam wujud manusia (subjek). Dalam proses ini Cahaya Ilahi mengambil peran penting sebagai fondasi dasar pembangun ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantara kehadiran.
Tahapan ketiga adalah tahapan konstruksi (pembangunan) suatu ilmu yang benar dan pencapaian pengetahuan yang tak terbatas. Dalam tahapan ini subjek telah dikatakan sebagai filosof Ilumisasi yang mencapai tingkatan “melihat” Cahaya Ilahi, dan mengajarkannya secara langsung tanpa perantara ilham dan wahyu. Dan tahapan ini disempurnakan dengan pendemostrasian Aristotelian dengan menggerakan data-data indrawi (yang di lihat) kepada akal sebagai pusat pengetahuan ilmiah diskursif.
Sedangkan tahapan terakhir adalah pendokumentasian pengalaman-pengalaman visioner ke dalam tulisan, adanya tahapan ini sebagai antisipasi ketika rasa ekstase itu hilang dan menjauh dari subjek. Menurut mereka yang telah merasakan, kejadian “ekstase” yang dirasakan para sufi hanyalah sebentar dan tidak dalam masa yang lama..

Senin, 24 Mei 2010

Hanya sebuah Renungan

hanya sebuah renungan

Mari membidik kesunyian malam ini
Hingga ia terjatuh berserakan
Terjerembab di dasar sungai kecil di sudut hati

Sungai yang mana lagi kawan ?
Bukankah hati kita telah kering ?
Teranggas dalam sepinya peradaban ini

Apa hatimu belum mati ?
Saat kekacauan meruah disana sini
Menghantui setiap kebebasan anak negeri

Kebebasan kita terpasung
Oleh rantai-rantai kehidupan yang tak kita pahami

Lalu mau apa ?
Bukankah bergerak saja kita tak bisa?

Atau kita tunggu saja
Uluran tangan kekar yang mau berbelas kasih pada semua
Atau kita memang harus mengiba dihadapnya
Agar derita kita terlihat begitu nyata

Ah, kenapa kita jadi pecundang, kawan
Mana langkahmu yang kemarin begitu kuat berderap
Mana senandungmu yang menyanyikan semangat menggebu

Atau itu semua kini telah luruh ?
Melebur jadi seonggok debu yang tercampakkan dan ditinggal berlalu

Mari kita bangkit, kawan
Menyatukan puing-puing hati kita yang berserakan
Tegapkan lagi badanmu
Ringankan lagi langkahmu
Hela nafas panjangmu

Hancurkan kesunyian yang menyergapmu
Dengan satu bidikan terarah dari tajamnya matamu

Berdoalah esok akan menjadi milikmu

Tambane Ati

Bismillahirrohmanir rohim....
Obat Hati:
1.Baca Quran+maknanya,
2.Sholat malam,
3.Berkumpul dg org2 sholeh,
4.Perbanyak Puasa,
5.Perpanjanglah dzikir malam.

ya itulah... Syair Tombo Ati (tapi versi indonesia... hehehe)
memang sering kita dengar ,,, tapi dapatkah kita meresapi maknanya???
tembang-tembang yang digunakan sebagai media dakwah oleh para wali seperti Sunan Bonang. Sunan yang bernama asli Raden Makdum Ibrahim ini adalah anak dari Sunan Ampel dan kakak kandung dari Sunan Drajad. Karya-karya beliau memiliki nuansa zikir yang mendorong kecintaan manusia pada Allah SWT. Salah satu karya monumental beliau adalah tembang “Tombo Ati”. Tembang ini sampai sekarang masih sering dinyanyikan orang, bahkan terakhir Emha Ainun Najib dan Opick juga mempopulerkan kembali tembang ini dalam album mereka. Tembang “Tombo Ati” ini berisi lima resep ampuh sebagai pelipur hati kita agar senantiasa dekat kepada-Nya

nich... versi jawanya...

Tombo ati iku limo perkorone

Kaping pisan moco Qur’an lan maknane

Kaping pindho sholat wengi lakonono

Kaping telu wong kang sholeh kumpulono

Kaping papat weteng iro ingkang luwe

Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe

Salah sawijine sopo biso ngelakoni

Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Syair-syair tersebut mengandung 5 nasehat upaya hati kita selalu tenang dan selalu dekat kepada-Nya. ika kelima resep ini benar-benar kita laksanakan insya Allah hidup kita akan bahagia, karena hati kita telah merasa tentram dan damai. Lima resep ini juga sangat baik untuk dilaksanakan sekarang ini, terutama sebagai “obat penawar” dari berbagai luka yang sedang menimpa bumi pertiwi ini. Kelima resep itu adalah :

1. Baca Qur’an dan maknanya.

Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Dengan sering membaca Al-Qur’an, apalagi disertai dengan memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya, hal ini akan membuat kita semakin memahami tujuan dari kehidupan kita ini. Dengan menjadikan al-Qur’an sebagai “Way of Life”, maka setiap langkah kita dalam arena kehidupan ini akan selalu berada di bawah naungan dan bimbingan-Nya. Di saat bangsa kita ditimpa dengan berbagai musibah, menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan kita adalah suatu keniscayaan. Dengan panduan dan petunjuk-Nya, insya Allah kita tidak akan tersesat dari jalan-Nya.

2. Sholat malam dirikanlah

Dengan sering melaksanakan sholat malam, terutama sekali sholat tahajjud akan semakin mendekatkan kita kepada-Nya. Apalagi Allah juga telah menjanjikan akan memberikan “derajat yang tinggi” bagi orang yang sering bangun malam untuk beribadah kepada-Nya. Segala kegelisahan, kegundahan, kesedihan, kekhawatiran akan hilang semuanya, jika sering melaksanakan “qiyamul lail”. Berbagai musibah yang ada pada bangsa ini harus disikapi dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada-Nya. Karena sesuai janji-Nya, bahwa dibalik segala macam kesulitan pasti di sana ada kemudahan yang kita akan peroleh. Oleh karena itu budaya “qiyamul lail” harus segera ditumbuhkembangkan di negeri ini.

3. Berkumpul dengan orang soleh

Maksud dari berkumpul di sini, bukan sekedar kumpul-kumpul yang tidak ada manfaatnya. Tetapi berkumpul di sini adalah kita bisa bergaul , berteman, bahkan bisa memperoleh ilmu dari orang-orang yang soleh. Orang-orang yang soleh adalah orang-orang yang senantiasa menggunakan hidupnya untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Termasuk di dalamnya adalah para ulama yang takut kepada Allah SWT. Dengan sering bergaul, berinteraksi, dan berdiskusi dengan mereka, maka selain menambah wawasan keislaman kita juga akan semakin membuat kita berusaha mengikuti jejak mereka untuk senantiasa bertaqarrub kepada-Nya. Di saat bencana menimpa negeri ini, berkumpul dengan orang-orang soleh, dan memohon doa mereka supaya kita bisa bersabar menghadapi musibah ini adalah sebuah tndakan positif yang harus segera kita lakukan. Apalagi bagi kita yang sudah begitu banyak berlumuran dengan dosa, doa orang-orang yang soleh ini sangat kita butuhkan.

4. Perbanyaklah berpuasa

Puasa adalah sarana yang sangat baik bagi pengendalian diri kita. Dengan berpuasa kita akan mampu menahan gejolak nafsu yang senantiasa membujuk kita melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Syariat Islam menganjurkan kita untuk banyak melakukan puasa, karena dengan berpuasa kita bisa mengendalikan keinginan nafsu kita. Apalagi di saat musibah mendera negeri kita Indonesia ini, dibutuhkan banyak kesabaran dan kemampuan menahan hawa nafsu dari segenap penduduk bangsa ini. Dengan memperbanyak puasa, insya Allah berbagai musibah yang ada dapat disikapi dengan penuh kesabaran.

5. Dzikir malam perpanjanglah

Dzikir adalah upaya untuk selalu mengingat Allah SWT. Apalagi dzikir pada malam hari, di saat orang-orang terlelap dalam mimpi-mimpi yang indah, kita melakukan dzikir kepada-Nya, hal ini akan semakin mendekatkan batin dan hati kita kepada-Nya. Malam hari hari adalah waktu yang paling mustajab untuk memohonkan segala keinginan kita kepada Allah SWT. Dzikir yang kita ucapkan dengan ikhlas akan semakin membuat hati kita serasa sangat dekat kepada-Nya. Dengan hati dan batin yang tenang serta damai, insya Allah kita akan bisa menyikapi segala musibah yang ada dengan tawakal dan ikhlas.

Jika kita laksanakan dengan istiqomah, satu dari lima resep tersebut insya Allah hidup kita akan selalu berada dalam naungan rahmat-Nya. Selain itu, kelima resep ini jika benar-benar kita realisasikan dalam kehidupan kita sebagai bangsa, insya Allah segala musibah yang menimpa negeri ini akan semakin membuat kita dekat kepada-Nya, bukan malah membuat kita semakin jauh dari tuntunan-Nya. Wallahu’alam bisshowab

ya Allah berikan kami kekuatan dalam menjalani hidup ini demi mencari ridloMu Ya Allah SWT......